Jumat, 16 Maret 2018

Pernikahan Rasulullah sampai permulaan wahyu

Khadijah, menurut riwayat Ibnu al-Atsir dan Ibnu Hisyam adalah seorang wanita 

pedagang yang mulia dan kaya. Beliau sering mengirim orang kepercayaannya untuk 

berdagang. Ketika beliau mendengar kabar kejujuran nabi saw, dan kemuliaan akhlaknya, 

beliau mencoba mengamati Nabi saw dengan membawa dagangannya ke Syam. 

Khadijah membawakan barang dagangan ynag lebih baik dari apa yang dibawakan 

kepada orang lain. Dalam perjalan dagang ini nabi saw ditemani Maisarah, seorang 

kepercayaan Khadijah. Muhammad saw menerima tawaranini dan berangkat ke Syam bersama 

Maisarah meniagakan barang Khadijah. Dalam perjalanan ini Nabi berhasil membawa 

keuntungan yang berlipat ganda, sehingga kepercayaan Khadijah bertambah terhadapnya. 

Selama perjalanan tersebut Maisarah sangat mengagumi akhlak dan kejujuran nabi. Semua sifat 

dan perilaku itu dilaporkan oleh Maisarah kepada Khadijah. Khadijah tertarik pada 

kejujurannya, dan ia pun terkejut oleh barakah yang diperoleh dari perniagaan nabi saw. 

Kemudian Khadijah menyatakan hasratnya untuk menikah dengan Nabi saw, dengan 

perantaraan Nafisah binti Muniyah. Nabi saw menyetujuinya, kemudian Nabi menyampaikan 

hal itu kepada paman-pamannya. Setelah itu, mereka meminagkan Khadijah untuk Nabi saw 

dari paman Khadijah , Amr bin Asad. Ketika menikahinya , Nabi berusia 25 tahun sedangkan 

Khadijah berusia 40 tahun. 

Sebelum emnikah dengan Nabi saw , khadijah pernah menikah dua kali . Pertama 

dengan Atiq bin A’idz at Tamimi dan yang kedua dengan Abu Halah at-Tamimi, namanya 

Hindun bin Zurarah. 

Beberapa Ibrah :

Usaha menjalankan perniagaan Khadijah ini merupakan kelanjutan dari kehiduapn 

mencari nafkah yang telah dimulaina dengan menggembala kambing. Himah dan ibrah 

mengenai masalah ini telah kami jelaskan sebagaimana pada pembahasan terdahulu. 

Menganai kutamaan dan kedudukan Khadijah dalam kehidupan Nabi saw, 

sesungguhnya ia tetap mendapatkan edudukan ynag tinggi di sisi Rasulullah saw sepanjang 

hidupnya. Telah disebutkan di dalam riwayat terbaik pada jamannya. 

Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Ali r.a. pernah mendengar Rasulullah saw 

bersabda :“Sebaik-baik wanita (langit) adalah Maryam binti Imran, dan sebaik-baik wanita 

(bumi) adalah Khadijah binti Khuwailid.“

Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Aisyah r.a. , ia berkata : 

„Aku tidak pernah cemburu kepada istri-istri Nabi saw kecuali kepada Khadijah, sekalipun aku 

tidak pernah bertemu dengannya. Adalah Rasulullah saw, apabila menyembelih kambing, ia 

berpesan,“Kirimkan daging kepada teman-teman Khadijah.“ Pada suatu hari aku memarahinya, 

lalu aku katakan,“ Khadijah ?“ Kemduian Nabi saw bersabda :“ Sesungguhnya akut elah 

dikaruniai cintanya.“

Ahmad dan Thabarani meriwayatkan dari Masruq dari Aisyah r.a. , ia berkata :

„Hampir Rasulullah saw tidka pernah keluar rumah sehingga menyebut Khadijah dan 

memujinya. Pada suatu hari Rasulullah saw menyebutnya, sehingga menimbulkan 

kecemburuanku. Lalu aku katakan ,“ Bukankah ia hanya seorang tua yang Allah telah menggantinya untuk kakanda orang ynag lebih baik darinya ?“ Kemudian Rasulullah saw marah 

seraya bersabda :“ Demi Allah, Allah tiada menggantikan untukku orang yang lebih baik 

darinya. Dia beriman ketika orang-orang ingkar, dia membenarkan aku ketika orang-orang 

mendustakanku, dia membelaku dengan hartanya, ketiak orang-orang menghalangiku, dan aku 

dikaruniai Allah anak darinya, sementara aku tidak dikaruniai anak sama sekali dari istri 

selainnya.“

Sehubungan dengan pernikahan Rasulullah saw dengan Khadijah kesan yang pertama 

kali didapatkan dari pernikahan ini ialah, bahwa Rasulullah saw sama sekali tidak 

memperhatikan faktor kesenangan jasadiah. Seandainya Rasulullah sangat memperhatikan hal 

tersebut, sebagaimana pemuda seusianya, niscaya beliau menari orang yang lebih muda, atau 

minimal orang yang tidak lbih tua darinya. Nampaknya Rasulullah saw menginginkan Khadijah 

karena kemuliaan akhlaknya di antara kerabat dan kaumnya, sampai ia pernah mendpatkan 

julukan ‘Afifah Thairah (wanita suci) pada masa jahiliyah. 

Pernikahan ini berlangsung hingga Khadijah meniggal dunia pada usia enampuluh lima 

tahun, sementara itu Rasulullah saw telah mendekati usia 50 tahun, tanpa berpikir selama masa 

ini untuk menikah dengan wanita atau gadis lain. Padahal usia antara 20 - 50 tahun merupakan 

masa bergejolaknya keinginan atau kecenderungan untuk menambah istri karena dorongan 

syahwat. 

Tetapi Muhammad saw telah melampaui masa tersebut tanpa pernah berpikir, 

sebagaimana telah kami katakan, untuk memadu Khadijah. Padahal andai beliau mau, tentu 

beliau akan mendapatkan istri tanpa bersusah payah menentang adat atau kebiasaan 

masyarakat. Apalagi beliau menikah dengan Khadijah yang berstaatuts janda dan lebih tua 

dariny.a 

Hakekat ini akan membungkam mulut orang-orang yang hatinya terbakar oelh dendam 

kepada Islam, dan kekuatan pengaruhnya dari kalanngan missionaris, orientalis dan antek-antek 

mereka. 

Mereka mengira bahwa dari tema pernikahan Rasulullah saw akan dapat dijadikan 

sasaran empuk untuk menyerang Islam dan merusak nama baik Muhammad saw . Dibayangkan 

bahwa mereka akan mampu mengubah citra Rasulullah saw di mata semua orang, sebagai 

seorang seks maniak ynag tenggelam dalam kelezatan jasadiah. 

Para missionaris sebagian besar orientalis adalah musuh-musuh bayaran terhadap Islam 

yang menjadikan pernikahan agama Islam sebagai potensi untuk mencari nafkah. Adapun para 

murid mereka yang tertipu, kebanyakan memusuhi Islam karena taqlid buta, sekedar ikut�ikutan tanpa berpikir sedikitpun , apalagi melalui kajian. Permusuhan mereka seperti lencana 

yang digantungkan seseorang di atas dadanya, sekedar supaya diketahui orang keterkaitannya 

kepada pihak tertentu. Seperti diketahui, lencana itu tidak lebih sekedar sombol. Maka 

permusuhan mereka terhadap Islam tidak lain hanylaah simbol ynag menjelaskan identitas 

mereka kepada semua orang, bahwa mereka bukan termasuk dari bagian sejarah Islam, dan 

bahwa loyalitas mereka hanyalah kepada pemikiran kolonial ynag tercermin dalam pemikian 

para orientalis dan missionaris . itulah pilihan mereka sebelum melakukan kajian sama sekali 

atau berusaha untuk memahami. Ya, permusuhan mereka terhadap Islam hanylaah sekedar

lencana yang menjelaskan identitas diri mereka di tentah kaumnya, bukan suatu hasil pemikiran 

untuk pengkajian atau argumentasi

Jika tidka tentu tema pernikahan Rasulullah saw , merupakan dalil yang dapat 

digunakan oleh Muslim yang mengetahui agama dan mengenal Sirah Nabawiyah, untuk 

membantah tikaman-tikaman para musuh agama ini. 

Mereka bermaksud menggambarkan Rasulullah saw sebagai seorang pemburu seks 

ynag tenggelam dalam kelezatan jasadiah. Padahal tema pernikahan Rasulullah saw ini saja 

sudah cukup sebagai dalil membantah tuduhan tersebut. 

Seorang pemburu seks tidak akan bersih dan suci sampai menginjak usia 25 tahun 

dalam satu lingkungan Arab jahiliyah seperti iut, tanpa terbawa arus kerusakan yang 

mengelilinginya. Seorang pemburu seks tidak akan pernah bersedia menikah dengan seorang 

janda yang lebih tua darinya, kemudian hidup bersama sekian lama tanpa melirik kepada 

wanita-wanita lain yang juga menginginkannya, sampai melewati masa remajanya, kemudian 

masa tua dan memauki pasca tua. 

Adapun pernikahan setelah itu dengan Aisyah, kemudian dengan lainnya, maka masing�masing memiliki kisah tersendiri. Setiap pernikahannya memiliki hikmah dan sebab yang akan 

menambah keimanan seorang muslim kepad keagungan Muhammad saw dan kesempurnaan 

akhlaknya. 

Tentang hikmah dan sebabnya, yang jelas pernikahan tersebut bukan untuk 

memperturutkan hawa nafsunya atau dorongan seksual. Sebab seandainya demikian, niscaya 

sudah dilampiaskannya apda masa-masa sebelumnya. Apalagi pada masa-masa tersebut 

pemuda Muhammad saw belum memikirkan dakwahnya dan permasalahannya yang dapat 

memalingkan dari kebutuhan nalurinya. 

Kami tidak memandang perlu untuk memanjangkan pembelaan terhadap pernikahan 

Nabi saw, sebagaimana dilakukan oleh sebagian penulis. Sebab kami tidak menggangap adanya 

permasalahan ynag perlu dibahas, kendatipun para musuh Islam berusaha mengada-adakannya. 

Kemungkinan lain, bahwa para musuh Islam tidaklah bermaksud merusak beberapa 

hakekat Islam , kecuali hanya sekadar menyeret kaum Muslim kepada perdebatan apologis

Keikutasertaan Nabi saw Dalam Membangun Ka’bah

Ka’bah adalah „rumah“ yang pertama kali dibangun atas nama Allah, untuk menyembah 

Allah dan mentauhidkan-Nya. Dibangun oleh bapak para Nabi, Ibrahom as, setelah menghadapi 

„perang berhala“ dan penghancuran tempat-tempat peribadatan yang didirikan atasnya. Ibrahim 

as membangunnya berdasarkan wahyu dan perintah dari Allah swt : 

„Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Isma’il 

(seraya berdo’a) „Ya Rabb kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya 

Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui“ QS al-Baqarah : 127

Setelah itu Ka’bah mengalami beberapa kali serangan yang mengakibatkan kerapuhan 

bangunannya. Di antaranya adalah serangan banjir yang menenggelamkan Mekkah beberapa 

tahun sebelum bi’tsah, sehingga menambah kerapuhan bangunannya. Hal ini memaksa orangorang Quraisy harus membangun Ka’bah kembali demi menjaga kehormatan dan kesucian 

bangunannya. Penghormatan dan pengagungan terhadap Ka’bah merupakan sisa atau 

peninggalan syari’at Ibrahim as yang masih terpelihara di kalangan orang Arab. 

Rasulullah saw sebelum bi’tsah pernah ikut serta dalam pembangungan Ka’bah dan 

pemugarannya. Beliau ikut serta secara aktif mengusung batu di atas pundaknya. Pada waktu 

itu Rasulullah saw berusia 35 tahun, menurut riwayat yang paling shahih. 

Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari hadits Jabir bin Abdullah r.a. ia berkata 

:“ Ketika Ka’bah dibangun, Nasbi saw dan Abbas pergi mengusung batu. Abbas berkata 

kepada Nabi saw ,“Singsingkan kainmu di atas lutut.“ Kemudian Nabi saw turun ke tanah, 

sedang kedua matanya melihat-lihat ke atas seraya berkata :“ Mana kainku?“ Lalu Nabi saw 

mengikatkannya. 

Nabi saw memiliki pengaruh besar dalam menyelesaikan kemelut yang timbul akibat 

perselisihan dalam menyelesaikan tentang siapa ynag berhak mendapatkan kehormatan 

meletakkan hajar aswad di tempatnya. Semua pihak tunduk kepada usulan yang diajukan Nabi 

saw , karena mereka semua mengenalnya sebagai al-amin (terpercaya) dan mencintainya. 

Beberapa Ibrah 

Sebaagi catatan terhadap bagian Sirah Nabi saw ini kami kemukakan empat hal : 

Pertama , urgensi , kemuliaan, dan kekudusan Ka’bah ynag telah ditetapkan Allah. Cukuplah 

sebgai dalilnya, bahwa orang ynag mendirikan dan membangunnya adalah Ibrahim kekasih 

Allah, dengan perintah dari Allah supaya menjadi rumah yang pertama untuk menyembah Allah 

semata, sebagai tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. 

Tetapi , ini tidak berarti bahwa Ka’bah memiliki pengaruh terhadap orang-orang yang 

thawaf di sekitarnya, atau orang-orang yang iktikaf di dalamnya Ka’bah, kendatipun memiliki 

kekudusan dan kedudukan di sisi Allah. Adalah batu yang tidak dapat memberikan bahaya dan 

manfaat.

Ketika Allah emngutus Ibrahim as utuk meruntuhkan berhala-berhala dan para Thogut, 

menghancurkan rumah-rumah peribadatan, melenyapkan rambu-rambunya dan menghapuskan 

penyembahannya, Allah menghendaki agar dibangun di atas bumi ini suatu bangunan yang akan 

menjadi lambang pentauhidan dan penyembahan kepada Allah semata. Suatu lambang yang 

mencerminkan sepanjang masa arti agama dan peribadatan yang benar, dan penolakan terhadap 

kemusyrikan dan penyembahan berhala. Selama beberapa abad manusia menyembah batu-batu, 

berhala dan para Thogut, dan mendirikan rumah-rumah ibadah untuknya. Sekarang telah tiba 

saaatnya untuk mengganti rumah-rumah yang didirikan untuk menyembah Allah semata. Setiap 

orang ynag memasukinya akan mendapatkan kemuliaannya, karena ia tidak tunduk dan 

merendah kecuali hanya kepada Pencipta alam semesta. 

Jika orang-orang yang beriman kepada wahdaniyah (keesaan) Allah dan para pemeluk 

agama-Nya harus memiliki ikatan yang akan mempertalikan mereka, dan sebuah tempat yang 

akan mempertemukan mereka, kendatipun berlainan negeri, bangsa, dan bahasa mereka. Maka 

tidak ada yang lebih tepat untuk dijadikan ikatan dan tempat pertemuan itu selain dari rumah 

yang didirikan sebagai lambang untuk mentauhidkan Allah dan menolak kemusyrikan ini. Di 

bawah naungannya mereka saling berkenalan. Di sinilah mereka bertemu karena panggilan kebenaran yang dilambangkan oleh rumah ini. Rumah ynag mencerminkan persatuan kaum 

Muslim di seluruh penjuru dunia, mencerminkan pentauhidan dan penyembahan hanya kepada 

Allah semata. Kendatipun selama beberapa abad pernah dijadikan tempat penyembahan tuhan￾tuhan palsu. 

Inilah ynag dimaksudkan oleh firman Allah : 

„Dan ( ingatlah), ketika Kami jadikan rumah itu ( Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia 

dan tempat yang aman. Dan jadilah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat“ QS al-Baqarah : 

125

Makna inilah yang akan dirasakan oleh setipa orang yang melakukan thawaf di Baitul -

Haram, jika ia telah memahami arti ‘ubudiyah kepada Allah dan tujuan melaksanakan perintah￾perintah-Nya, baik karena sebagai perintah ynag harus dilaksanakan ataupun karena sebagai 

serorang hamba ynag berkewajiban mematuhi perintah. Di sinilah nampak kekudusan Ka’bah 

dan keagungan kedudukannya di sisi Allah. Dari sini pula terasa perlunya menunaikan haji dan 

thawaf di sekitarnya. 

Kedua, penjelasan menyangkut beberapa kali peristiwa perusakan dan pembangungan Ka’abh.

Sepanjang masa, Ka’bah pernah di bangun empat kali tanpa diragukan lagi. Akan 

halnya pembangunan Ka’bah sebelum itu , maka masih diperselisihkan dan diragukan 

kebenarannya. 

Pembangunan Ka’bah yang pertama kali adalah yang dilakukan oleh Ibrahim as di bantu 

anaknya Isma’il as, atas perintah Allah swt, sebagaimana dinyatakan secara tegas oleh al-Quran 

dan Sunnah yang shahih : 

Firman Allah :

„Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Isma’il 

(seraya berdoa) „Ya Rabb kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya 

Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ QS l-Baqarah : 127

Bukhari meriwaytkan dengan sanadnya dari Ibnu Abbas r.a. : 

...kemudian (Ibrahim) berkata : „Hai Isma’il, sesungguhnya Allah memerintahkan aku ( untuk 

melakukan) sesuatu perkara.“ Isma’il berkata ,“Lakukanlah apa yang diperintahkan oleh 

Rabbmu.“Ibrahim bertanya ,“ Kamu akan membantuku?“ Isma’il menjawab,“Aku akan 

membantumu.“ Ibrahim berkata ,“ Sesungguhnya Allah memerintahkan aku agar aku 

membangun rumah (Ka’bah) di sini,“ seraya menunjuk ke bukit di sekitarnya. Nabi saw 

bersabda :“ Pada saat itulah keduanya membangun dasar-dasar Ka’bah, kemudian Isma’il 

mengusung batu dan Ibrahim ynag membangun ....“

Az-Zarkasyi mengtip dari sejarah Mekkah karangan al-Azraqi bahwa Ibrahim 

membangun Ka’bah dengan tinggi dujuh depa, dalamnya ke bumi tiga puluh depa, dan lebarnya 

dua puluh depa , tanapa atap. As-Suhaili menceritakan bahwa tinginya sembilan depa. Menurut 

penulis (Dr. Al-Buthi ) riwayat as-Suhaili lebih tepat daripa riwayat al-Azraqi.

Pembangunan Ka’bah ynag kedua adalah yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy 

seblum Islam, dimana Nabi saw ikur serta dalam pembangunannya, sebagaimana telah kamis 

ebutkan. Mereka membangunnya dengan tinggi delapan belas depa, dalamnya enam depa, dan 

beberapa depa mereka biaran di hijir (Isma’il)

Ikhtila’ (Menyendiri) Di Gua Hira’

Mendekati usia empat puluh tahun, mulailah tumbuh pada diri Nabi saw kecenderungan 

untuk melakukan ‘uzlah. Allah menumbuhkan pada dirinya rasa senang untuk melakukan 

ikhtila’ (menyendiri) di gua Hira’ (hira’ adalah nama sebuah gunung yang terletak di sebelah 

barat laut kota Mekkah). Ia menyendiri dan beribadah di gua tersebut selama beberapa malam. 

Kadang sampai sepuluh malam, kadang lebih dari itu, sampai satu bulan. Kemudian beliau 

kembali ke rumahnya sejenak hanya untuk mengambil bekal baru untuk melanjutkan Ikhtila’-

nya di gua Hira’. Demikianlah Nabi saw terus melakukannya sampai turun wahyu kepadanya 

ketika beliau sedang melakukan ‘uzlah. 

Beberapa Ibrah 

‘Uzlah dilakukan Rasulullah saw menjelang bi’tsah (pengangkatan sebagai Rasul) ini 

memiliki makna dan urgensi yang sangat besar dalam kehidupan kaum Muslim pada umumnya 

dan pada da’i pada khususnya. 

Peristiwa ini menjelaskan , bahwa seorang Muslim tidak akan sempurna keislamannya 

betapapun ia telah memiliki akhlak-akhlak yang mulia dan melaksanakan segala macam ibadah 

sebelum menyempurnakannya dengan waktu-waktu ‘uzlah dan khalwah (menyendiri) untuk 

mengadili diri sendiri ( muhasabbah ‘n nafsi). Merasakan pengawasan Allah dan merenungkan 

fenomena-fenomena alam semesta yang menjadi bukti keagungan Allah. 

Ini merupakan kewajiban setiap Muslim yang ingin mencapai keislaman yang benar. 

Apalagi bagi seorang penyeru kepada Allah dan penunjuk kepada jalan yang benar. 

Hikmah dari program ‘uzlah ini ialah, bahwa tiap jiwa manusia memiliki sejumlah 

penyakit yang tidak dapat dibersihkan kecuali dengan obat ‘uzlah dan mengadilinya dalam 

suasana hening, jauh dari keramaian dunia. Sobong ‘ujub (bangga diri), dengki, riya’, dan cinta

dunia, kesemuannya itu adalah penyakit yang dapat menguasai jiwa , merasuk ke dalam hati, 

dan menimbulkan kerusakan di dalam bathin manusia. Kendatipun lahiriahnya menampakkan 

amal-amal shaleh dan ibadat-ibadat yang bai, dan sekaipun ia sibuk dengan melaksanakan 

tugas-tugas dakwah dan memerikan bimbingan kepada orang lain. 

Penyakit-penyakit ini tidak dapat diobati kecuali dengan melakukan ikhtila’ secara rutin 

untuk merenungkan hakekat dirinya, penciptaannya dan sejauh mana kebutuhan kepada 

pertolongan dan taufik dari Allah swt pada setiap detik kehidupannya. Demikian pula 

merenungkan ihwal Pencipta. Dan betapapun tak bergunanya pujian dan celaan manusia. 

Kemduian merenungkan fenomena-fenomena keagungan Allah, hari akhir, pengadilan, 

besarnya rahmat dan pedihnya siksaan Allah. Dengan perenungan yng lama dan berulang-ulang 

tentang hal-hal tersebut, maka penyakit-penyakit ynag melekat pada jiwa manusia akan 

berguguran. Hati menjadi hidup dengan cahaya kesadaran dan kejernihan. Tiadak ada lagi 

kotoran dunia yang melekat di dalam hatinya. 

Hal lain juga sangat penting dalam kehidupan kaum Muslim pada umumnya dan para 

pengemban dakwah pada khususnya, ialah pembinaan mahabbatu Illah tidak akan tumbuh dari 

keimanan rasio semata. Sebab, masalah-masalah rasional semata tidak pernah memberikan 

pengaruh ke dalam hati dan perasaan. Seandainya demikian niscaya para orientalis sudah menjadi pelopor orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan tentu hai mereka 

menjadi hari yang paling mencintai Allah dan Rasul-Nya. Pernahkah anda mendengar salah 

seorang olmuwan ynag telah mengorbankan nyawanya demi keimanan kepada sebuah rumus 

matematika atau maslah aljabar ? 

Sarana untuk menumbuhkan mahabbatu Ilahi stelah iman kepada-Nya ialah 

memperbanyak tafakur tentang ciptaan dan nikmat-nikmat-Nya. Merenungkan betapa 

keagungan dan kebesaran-Nya. Kemduian memperbanyak mengingat Allah dengan lisan dan 

hati. Dan semuanya itu hana bisa diwujudkan dengan ‘uzlah , khalwah dan menjauhi kesibukan�kesibukan dunia dan keramaiannya pada waktu-waktu tertentu secara terprogram. 

Jika seorang Muslim telah melakukannya dan siap untuk melaksanakan tugas ini, maka 

akan tumbuh di dalam hatinya mahabbatu Ilahiyah ynag akan membuat segala yang besar 

menjadi kecil. Melecehkan segala bentuk tawaran duniawi, memandang enteng segla gangguan 

dan siksaan dan mampu mengatasi setiap penghinaan dan pelecehan. Itulah bekal yang harus 

dipersiapkan oleh para penyeru kepada Allah. Karena bekal itulah yang dipersiapkan Allah 

kepada Nabi-Nya, Muhammad saw, untuk mengemban tugas-tugas dakwah Islamiyah.

Dorongan-dorongan spiritual di dalam hati, seperti rasa takut , cinta dan harap, akan 

mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh pemahaman rasional semata. Tepat 

sekali asy-Syatibi ketika membedakan dorongan-dorongan ini antara kebanyakan kaum 

Muslimin yang masuk ke dalam ikatan pembebanan (taklif) dengan dorongan umumnya 

keislaman mereka. Dan orang-orang tertentu yang masuk ke dalam ikatan pembebanan dengan 

dorongan lebih kuat dari sekedar pemahaman rasional. Berkata Asy-Syatibi : 

„Kelompok pertama keadaannya seperti orang yang beramal karena ikatan Islam dan iman 

mereka semata. Kelompk kedua keadaannya seperti orang yang beramal karena dorongan rasa 

takut dan harap atau cinta. Orang ang takut akan tetap bekerja kendatipun terasa berat. Bahkan 

rasa takut terhadap sesuatu yang lebih berat akan menimbulkan kesabaran terhadap sesuatu 

yang lebih ringan, kendatipun tergolong berat. Orang yang memiliki harapan akan tetap bekerja 

kendatipun terasa sulit. Harapan kepada kesenangan akan menimbulkan kesabaran dalam 

menghadapi kesulitan. Orang ynag mencintai akan bekerja mengerahkan segala upaya karena 

rindu kepada kekasih, sehingga rasa cinta ini mempermudah segala kesulitan dan mendekatkan 

segala yang jauh.“

Mencari aneka sarana untuk mewujudkan dorongan-dorongan spiritual di hati ini 

merupakan suatu keharusan. Jumhur Ulama menyebutkan dengan tasawuf, atau sebagian yang 

lain seperti Imam Ibnu Taimiyah menyebutnya ilmu Suluh. 

Khalwah yang dibiasakan Nabi saw menjelang bi’tsah ini merupakan salah satu sarana 

untuk mewujudkan dorongan-dorongan tersebut. 

Tetapi maksud khalwah di sini tidak boleh dipahami sebagaimana pemahaman sebagian 

orang ynag keliru dan menyimpang. Mereka memahaminya sebgai tindakan meninggalkan sama 

sekali pergaulan dengan manusia dengan hidup dan tinggal di gua-gua. 

Tindakan ini bertentangan dengan petunuk Nabi saw dan praktek para sahabatnya. 

Maksud khalwah di sini ialah sebagai obat untuk memperbaiki keadaan. Karena sebagai obat, 

maka tidak boleh dilakukan kecuali dengan kadar tertentu dan sesuai dengan keperluan. Jika 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar