Khadijah, menurut riwayat Ibnu al-Atsir dan Ibnu Hisyam adalah seorang wanita
pedagang yang mulia dan kaya. Beliau sering mengirim orang kepercayaannya untuk
berdagang. Ketika beliau mendengar kabar kejujuran nabi saw, dan kemuliaan akhlaknya,
beliau mencoba mengamati Nabi saw dengan membawa dagangannya ke Syam.
Khadijah membawakan barang dagangan ynag lebih baik dari apa yang dibawakan
kepada orang lain. Dalam perjalan dagang ini nabi saw ditemani Maisarah, seorang
kepercayaan Khadijah. Muhammad saw menerima tawaranini dan berangkat ke Syam bersama
Maisarah meniagakan barang Khadijah. Dalam perjalanan ini Nabi berhasil membawa
keuntungan yang berlipat ganda, sehingga kepercayaan Khadijah bertambah terhadapnya.
Selama perjalanan tersebut Maisarah sangat mengagumi akhlak dan kejujuran nabi. Semua sifat
dan perilaku itu dilaporkan oleh Maisarah kepada Khadijah. Khadijah tertarik pada
kejujurannya, dan ia pun terkejut oleh barakah yang diperoleh dari perniagaan nabi saw.
Kemudian Khadijah menyatakan hasratnya untuk menikah dengan Nabi saw, dengan
perantaraan Nafisah binti Muniyah. Nabi saw menyetujuinya, kemudian Nabi menyampaikan
hal itu kepada paman-pamannya. Setelah itu, mereka meminagkan Khadijah untuk Nabi saw
dari paman Khadijah , Amr bin Asad. Ketika menikahinya , Nabi berusia 25 tahun sedangkan
Khadijah berusia 40 tahun.
Sebelum emnikah dengan Nabi saw , khadijah pernah menikah dua kali . Pertama
dengan Atiq bin A’idz at Tamimi dan yang kedua dengan Abu Halah at-Tamimi, namanya
Hindun bin Zurarah.
Beberapa Ibrah :
Usaha menjalankan perniagaan Khadijah ini merupakan kelanjutan dari kehiduapn
mencari nafkah yang telah dimulaina dengan menggembala kambing. Himah dan ibrah
mengenai masalah ini telah kami jelaskan sebagaimana pada pembahasan terdahulu.
Menganai kutamaan dan kedudukan Khadijah dalam kehidupan Nabi saw,
sesungguhnya ia tetap mendapatkan edudukan ynag tinggi di sisi Rasulullah saw sepanjang
hidupnya. Telah disebutkan di dalam riwayat terbaik pada jamannya.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Ali r.a. pernah mendengar Rasulullah saw
bersabda :“Sebaik-baik wanita (langit) adalah Maryam binti Imran, dan sebaik-baik wanita
(bumi) adalah Khadijah binti Khuwailid.“
Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Aisyah r.a. , ia berkata :
„Aku tidak pernah cemburu kepada istri-istri Nabi saw kecuali kepada Khadijah, sekalipun aku
tidak pernah bertemu dengannya. Adalah Rasulullah saw, apabila menyembelih kambing, ia
berpesan,“Kirimkan daging kepada teman-teman Khadijah.“ Pada suatu hari aku memarahinya,
lalu aku katakan,“ Khadijah ?“ Kemduian Nabi saw bersabda :“ Sesungguhnya akut elah
dikaruniai cintanya.“
Ahmad dan Thabarani meriwayatkan dari Masruq dari Aisyah r.a. , ia berkata :
„Hampir Rasulullah saw tidka pernah keluar rumah sehingga menyebut Khadijah dan
memujinya. Pada suatu hari Rasulullah saw menyebutnya, sehingga menimbulkan
kecemburuanku. Lalu aku katakan ,“ Bukankah ia hanya seorang tua yang Allah telah menggantinya untuk kakanda orang ynag lebih baik darinya ?“ Kemudian Rasulullah saw marah
seraya bersabda :“ Demi Allah, Allah tiada menggantikan untukku orang yang lebih baik
darinya. Dia beriman ketika orang-orang ingkar, dia membenarkan aku ketika orang-orang
mendustakanku, dia membelaku dengan hartanya, ketiak orang-orang menghalangiku, dan aku
dikaruniai Allah anak darinya, sementara aku tidak dikaruniai anak sama sekali dari istri
selainnya.“
Sehubungan dengan pernikahan Rasulullah saw dengan Khadijah kesan yang pertama
kali didapatkan dari pernikahan ini ialah, bahwa Rasulullah saw sama sekali tidak
memperhatikan faktor kesenangan jasadiah. Seandainya Rasulullah sangat memperhatikan hal
tersebut, sebagaimana pemuda seusianya, niscaya beliau menari orang yang lebih muda, atau
minimal orang yang tidak lbih tua darinya. Nampaknya Rasulullah saw menginginkan Khadijah
karena kemuliaan akhlaknya di antara kerabat dan kaumnya, sampai ia pernah mendpatkan
julukan ‘Afifah Thairah (wanita suci) pada masa jahiliyah.
Pernikahan ini berlangsung hingga Khadijah meniggal dunia pada usia enampuluh lima
tahun, sementara itu Rasulullah saw telah mendekati usia 50 tahun, tanpa berpikir selama masa
ini untuk menikah dengan wanita atau gadis lain. Padahal usia antara 20 - 50 tahun merupakan
masa bergejolaknya keinginan atau kecenderungan untuk menambah istri karena dorongan
syahwat.
Tetapi Muhammad saw telah melampaui masa tersebut tanpa pernah berpikir,
sebagaimana telah kami katakan, untuk memadu Khadijah. Padahal andai beliau mau, tentu
beliau akan mendapatkan istri tanpa bersusah payah menentang adat atau kebiasaan
masyarakat. Apalagi beliau menikah dengan Khadijah yang berstaatuts janda dan lebih tua
dariny.a
Hakekat ini akan membungkam mulut orang-orang yang hatinya terbakar oelh dendam
kepada Islam, dan kekuatan pengaruhnya dari kalanngan missionaris, orientalis dan antek-antek
mereka.
Mereka mengira bahwa dari tema pernikahan Rasulullah saw akan dapat dijadikan
sasaran empuk untuk menyerang Islam dan merusak nama baik Muhammad saw . Dibayangkan
bahwa mereka akan mampu mengubah citra Rasulullah saw di mata semua orang, sebagai
seorang seks maniak ynag tenggelam dalam kelezatan jasadiah.
Para missionaris sebagian besar orientalis adalah musuh-musuh bayaran terhadap Islam
yang menjadikan pernikahan agama Islam sebagai potensi untuk mencari nafkah. Adapun para
murid mereka yang tertipu, kebanyakan memusuhi Islam karena taqlid buta, sekedar ikut�ikutan tanpa berpikir sedikitpun , apalagi melalui kajian. Permusuhan mereka seperti lencana
yang digantungkan seseorang di atas dadanya, sekedar supaya diketahui orang keterkaitannya
kepada pihak tertentu. Seperti diketahui, lencana itu tidak lebih sekedar sombol. Maka
permusuhan mereka terhadap Islam tidak lain hanylaah simbol ynag menjelaskan identitas
mereka kepada semua orang, bahwa mereka bukan termasuk dari bagian sejarah Islam, dan
bahwa loyalitas mereka hanyalah kepada pemikiran kolonial ynag tercermin dalam pemikian
para orientalis dan missionaris . itulah pilihan mereka sebelum melakukan kajian sama sekali
atau berusaha untuk memahami. Ya, permusuhan mereka terhadap Islam hanylaah sekedar
lencana yang menjelaskan identitas diri mereka di tentah kaumnya, bukan suatu hasil pemikiran
untuk pengkajian atau argumentasi
Jika tidka tentu tema pernikahan Rasulullah saw , merupakan dalil yang dapat
digunakan oleh Muslim yang mengetahui agama dan mengenal Sirah Nabawiyah, untuk
membantah tikaman-tikaman para musuh agama ini.
Mereka bermaksud menggambarkan Rasulullah saw sebagai seorang pemburu seks
ynag tenggelam dalam kelezatan jasadiah. Padahal tema pernikahan Rasulullah saw ini saja
sudah cukup sebagai dalil membantah tuduhan tersebut.
Seorang pemburu seks tidak akan bersih dan suci sampai menginjak usia 25 tahun
dalam satu lingkungan Arab jahiliyah seperti iut, tanpa terbawa arus kerusakan yang
mengelilinginya. Seorang pemburu seks tidak akan pernah bersedia menikah dengan seorang
janda yang lebih tua darinya, kemudian hidup bersama sekian lama tanpa melirik kepada
wanita-wanita lain yang juga menginginkannya, sampai melewati masa remajanya, kemudian
masa tua dan memauki pasca tua.
Adapun pernikahan setelah itu dengan Aisyah, kemudian dengan lainnya, maka masing�masing memiliki kisah tersendiri. Setiap pernikahannya memiliki hikmah dan sebab yang akan
menambah keimanan seorang muslim kepad keagungan Muhammad saw dan kesempurnaan
akhlaknya.
Tentang hikmah dan sebabnya, yang jelas pernikahan tersebut bukan untuk
memperturutkan hawa nafsunya atau dorongan seksual. Sebab seandainya demikian, niscaya
sudah dilampiaskannya apda masa-masa sebelumnya. Apalagi pada masa-masa tersebut
pemuda Muhammad saw belum memikirkan dakwahnya dan permasalahannya yang dapat
memalingkan dari kebutuhan nalurinya.
Kami tidak memandang perlu untuk memanjangkan pembelaan terhadap pernikahan
Nabi saw, sebagaimana dilakukan oleh sebagian penulis. Sebab kami tidak menggangap adanya
permasalahan ynag perlu dibahas, kendatipun para musuh Islam berusaha mengada-adakannya.
Kemungkinan lain, bahwa para musuh Islam tidaklah bermaksud merusak beberapa
hakekat Islam , kecuali hanya sekadar menyeret kaum Muslim kepada perdebatan apologis
Keikutasertaan Nabi saw Dalam Membangun Ka’bah
Ka’bah adalah „rumah“ yang pertama kali dibangun atas nama Allah, untuk menyembah
Allah dan mentauhidkan-Nya. Dibangun oleh bapak para Nabi, Ibrahom as, setelah menghadapi
„perang berhala“ dan penghancuran tempat-tempat peribadatan yang didirikan atasnya. Ibrahim
as membangunnya berdasarkan wahyu dan perintah dari Allah swt :
„Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Isma’il
(seraya berdo’a) „Ya Rabb kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui“ QS al-Baqarah : 127
Setelah itu Ka’bah mengalami beberapa kali serangan yang mengakibatkan kerapuhan
bangunannya. Di antaranya adalah serangan banjir yang menenggelamkan Mekkah beberapa
tahun sebelum bi’tsah, sehingga menambah kerapuhan bangunannya. Hal ini memaksa orangorang Quraisy harus membangun Ka’bah kembali demi menjaga kehormatan dan kesucian
bangunannya. Penghormatan dan pengagungan terhadap Ka’bah merupakan sisa atau
peninggalan syari’at Ibrahim as yang masih terpelihara di kalangan orang Arab.
Rasulullah saw sebelum bi’tsah pernah ikut serta dalam pembangungan Ka’bah dan
pemugarannya. Beliau ikut serta secara aktif mengusung batu di atas pundaknya. Pada waktu
itu Rasulullah saw berusia 35 tahun, menurut riwayat yang paling shahih.
Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari hadits Jabir bin Abdullah r.a. ia berkata
:“ Ketika Ka’bah dibangun, Nasbi saw dan Abbas pergi mengusung batu. Abbas berkata
kepada Nabi saw ,“Singsingkan kainmu di atas lutut.“ Kemudian Nabi saw turun ke tanah,
sedang kedua matanya melihat-lihat ke atas seraya berkata :“ Mana kainku?“ Lalu Nabi saw
mengikatkannya.
Nabi saw memiliki pengaruh besar dalam menyelesaikan kemelut yang timbul akibat
perselisihan dalam menyelesaikan tentang siapa ynag berhak mendapatkan kehormatan
meletakkan hajar aswad di tempatnya. Semua pihak tunduk kepada usulan yang diajukan Nabi
saw , karena mereka semua mengenalnya sebagai al-amin (terpercaya) dan mencintainya.
Beberapa Ibrah
Sebaagi catatan terhadap bagian Sirah Nabi saw ini kami kemukakan empat hal :
Pertama , urgensi , kemuliaan, dan kekudusan Ka’bah ynag telah ditetapkan Allah. Cukuplah
sebgai dalilnya, bahwa orang ynag mendirikan dan membangunnya adalah Ibrahim kekasih
Allah, dengan perintah dari Allah supaya menjadi rumah yang pertama untuk menyembah Allah
semata, sebagai tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia.
Tetapi , ini tidak berarti bahwa Ka’bah memiliki pengaruh terhadap orang-orang yang
thawaf di sekitarnya, atau orang-orang yang iktikaf di dalamnya Ka’bah, kendatipun memiliki
kekudusan dan kedudukan di sisi Allah. Adalah batu yang tidak dapat memberikan bahaya dan
manfaat.
Ketika Allah emngutus Ibrahim as utuk meruntuhkan berhala-berhala dan para Thogut,
menghancurkan rumah-rumah peribadatan, melenyapkan rambu-rambunya dan menghapuskan
penyembahannya, Allah menghendaki agar dibangun di atas bumi ini suatu bangunan yang akan
menjadi lambang pentauhidan dan penyembahan kepada Allah semata. Suatu lambang yang
mencerminkan sepanjang masa arti agama dan peribadatan yang benar, dan penolakan terhadap
kemusyrikan dan penyembahan berhala. Selama beberapa abad manusia menyembah batu-batu,
berhala dan para Thogut, dan mendirikan rumah-rumah ibadah untuknya. Sekarang telah tiba
saaatnya untuk mengganti rumah-rumah yang didirikan untuk menyembah Allah semata. Setiap
orang ynag memasukinya akan mendapatkan kemuliaannya, karena ia tidak tunduk dan
merendah kecuali hanya kepada Pencipta alam semesta.
Jika orang-orang yang beriman kepada wahdaniyah (keesaan) Allah dan para pemeluk
agama-Nya harus memiliki ikatan yang akan mempertalikan mereka, dan sebuah tempat yang
akan mempertemukan mereka, kendatipun berlainan negeri, bangsa, dan bahasa mereka. Maka
tidak ada yang lebih tepat untuk dijadikan ikatan dan tempat pertemuan itu selain dari rumah
yang didirikan sebagai lambang untuk mentauhidkan Allah dan menolak kemusyrikan ini. Di
bawah naungannya mereka saling berkenalan. Di sinilah mereka bertemu karena panggilan kebenaran yang dilambangkan oleh rumah ini. Rumah ynag mencerminkan persatuan kaum
Muslim di seluruh penjuru dunia, mencerminkan pentauhidan dan penyembahan hanya kepada
Allah semata. Kendatipun selama beberapa abad pernah dijadikan tempat penyembahan tuhantuhan palsu.
Inilah ynag dimaksudkan oleh firman Allah :
„Dan ( ingatlah), ketika Kami jadikan rumah itu ( Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia
dan tempat yang aman. Dan jadilah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat“ QS al-Baqarah :
125
Makna inilah yang akan dirasakan oleh setipa orang yang melakukan thawaf di Baitul -
Haram, jika ia telah memahami arti ‘ubudiyah kepada Allah dan tujuan melaksanakan perintahperintah-Nya, baik karena sebagai perintah ynag harus dilaksanakan ataupun karena sebagai
serorang hamba ynag berkewajiban mematuhi perintah. Di sinilah nampak kekudusan Ka’bah
dan keagungan kedudukannya di sisi Allah. Dari sini pula terasa perlunya menunaikan haji dan
thawaf di sekitarnya.
Kedua, penjelasan menyangkut beberapa kali peristiwa perusakan dan pembangungan Ka’abh.
Sepanjang masa, Ka’bah pernah di bangun empat kali tanpa diragukan lagi. Akan
halnya pembangunan Ka’bah sebelum itu , maka masih diperselisihkan dan diragukan
kebenarannya.
Pembangunan Ka’bah yang pertama kali adalah yang dilakukan oleh Ibrahim as di bantu
anaknya Isma’il as, atas perintah Allah swt, sebagaimana dinyatakan secara tegas oleh al-Quran
dan Sunnah yang shahih :
Firman Allah :
„Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Isma’il
(seraya berdoa) „Ya Rabb kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ QS l-Baqarah : 127
Bukhari meriwaytkan dengan sanadnya dari Ibnu Abbas r.a. :
...kemudian (Ibrahim) berkata : „Hai Isma’il, sesungguhnya Allah memerintahkan aku ( untuk
melakukan) sesuatu perkara.“ Isma’il berkata ,“Lakukanlah apa yang diperintahkan oleh
Rabbmu.“Ibrahim bertanya ,“ Kamu akan membantuku?“ Isma’il menjawab,“Aku akan
membantumu.“ Ibrahim berkata ,“ Sesungguhnya Allah memerintahkan aku agar aku
membangun rumah (Ka’bah) di sini,“ seraya menunjuk ke bukit di sekitarnya. Nabi saw
bersabda :“ Pada saat itulah keduanya membangun dasar-dasar Ka’bah, kemudian Isma’il
mengusung batu dan Ibrahim ynag membangun ....“
Az-Zarkasyi mengtip dari sejarah Mekkah karangan al-Azraqi bahwa Ibrahim
membangun Ka’bah dengan tinggi dujuh depa, dalamnya ke bumi tiga puluh depa, dan lebarnya
dua puluh depa , tanapa atap. As-Suhaili menceritakan bahwa tinginya sembilan depa. Menurut
penulis (Dr. Al-Buthi ) riwayat as-Suhaili lebih tepat daripa riwayat al-Azraqi.
Pembangunan Ka’bah ynag kedua adalah yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy
seblum Islam, dimana Nabi saw ikur serta dalam pembangunannya, sebagaimana telah kamis
ebutkan. Mereka membangunnya dengan tinggi delapan belas depa, dalamnya enam depa, dan
beberapa depa mereka biaran di hijir (Isma’il)
Ikhtila’ (Menyendiri) Di Gua Hira’
Mendekati usia empat puluh tahun, mulailah tumbuh pada diri Nabi saw kecenderungan
untuk melakukan ‘uzlah. Allah menumbuhkan pada dirinya rasa senang untuk melakukan
ikhtila’ (menyendiri) di gua Hira’ (hira’ adalah nama sebuah gunung yang terletak di sebelah
barat laut kota Mekkah). Ia menyendiri dan beribadah di gua tersebut selama beberapa malam.
Kadang sampai sepuluh malam, kadang lebih dari itu, sampai satu bulan. Kemudian beliau
kembali ke rumahnya sejenak hanya untuk mengambil bekal baru untuk melanjutkan Ikhtila’-
nya di gua Hira’. Demikianlah Nabi saw terus melakukannya sampai turun wahyu kepadanya
ketika beliau sedang melakukan ‘uzlah.
Beberapa Ibrah
‘Uzlah dilakukan Rasulullah saw menjelang bi’tsah (pengangkatan sebagai Rasul) ini
memiliki makna dan urgensi yang sangat besar dalam kehidupan kaum Muslim pada umumnya
dan pada da’i pada khususnya.
Peristiwa ini menjelaskan , bahwa seorang Muslim tidak akan sempurna keislamannya
betapapun ia telah memiliki akhlak-akhlak yang mulia dan melaksanakan segala macam ibadah
sebelum menyempurnakannya dengan waktu-waktu ‘uzlah dan khalwah (menyendiri) untuk
mengadili diri sendiri ( muhasabbah ‘n nafsi). Merasakan pengawasan Allah dan merenungkan
fenomena-fenomena alam semesta yang menjadi bukti keagungan Allah.
Ini merupakan kewajiban setiap Muslim yang ingin mencapai keislaman yang benar.
Apalagi bagi seorang penyeru kepada Allah dan penunjuk kepada jalan yang benar.
Hikmah dari program ‘uzlah ini ialah, bahwa tiap jiwa manusia memiliki sejumlah
penyakit yang tidak dapat dibersihkan kecuali dengan obat ‘uzlah dan mengadilinya dalam
suasana hening, jauh dari keramaian dunia. Sobong ‘ujub (bangga diri), dengki, riya’, dan cinta
dunia, kesemuannya itu adalah penyakit yang dapat menguasai jiwa , merasuk ke dalam hati,
dan menimbulkan kerusakan di dalam bathin manusia. Kendatipun lahiriahnya menampakkan
amal-amal shaleh dan ibadat-ibadat yang bai, dan sekaipun ia sibuk dengan melaksanakan
tugas-tugas dakwah dan memerikan bimbingan kepada orang lain.
Penyakit-penyakit ini tidak dapat diobati kecuali dengan melakukan ikhtila’ secara rutin
untuk merenungkan hakekat dirinya, penciptaannya dan sejauh mana kebutuhan kepada
pertolongan dan taufik dari Allah swt pada setiap detik kehidupannya. Demikian pula
merenungkan ihwal Pencipta. Dan betapapun tak bergunanya pujian dan celaan manusia.
Kemduian merenungkan fenomena-fenomena keagungan Allah, hari akhir, pengadilan,
besarnya rahmat dan pedihnya siksaan Allah. Dengan perenungan yng lama dan berulang-ulang
tentang hal-hal tersebut, maka penyakit-penyakit ynag melekat pada jiwa manusia akan
berguguran. Hati menjadi hidup dengan cahaya kesadaran dan kejernihan. Tiadak ada lagi
kotoran dunia yang melekat di dalam hatinya.
Hal lain juga sangat penting dalam kehidupan kaum Muslim pada umumnya dan para
pengemban dakwah pada khususnya, ialah pembinaan mahabbatu Illah tidak akan tumbuh dari
keimanan rasio semata. Sebab, masalah-masalah rasional semata tidak pernah memberikan
pengaruh ke dalam hati dan perasaan. Seandainya demikian niscaya para orientalis sudah menjadi pelopor orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan tentu hai mereka
menjadi hari yang paling mencintai Allah dan Rasul-Nya. Pernahkah anda mendengar salah
seorang olmuwan ynag telah mengorbankan nyawanya demi keimanan kepada sebuah rumus
matematika atau maslah aljabar ?
Sarana untuk menumbuhkan mahabbatu Ilahi stelah iman kepada-Nya ialah
memperbanyak tafakur tentang ciptaan dan nikmat-nikmat-Nya. Merenungkan betapa
keagungan dan kebesaran-Nya. Kemduian memperbanyak mengingat Allah dengan lisan dan
hati. Dan semuanya itu hana bisa diwujudkan dengan ‘uzlah , khalwah dan menjauhi kesibukan�kesibukan dunia dan keramaiannya pada waktu-waktu tertentu secara terprogram.
Jika seorang Muslim telah melakukannya dan siap untuk melaksanakan tugas ini, maka
akan tumbuh di dalam hatinya mahabbatu Ilahiyah ynag akan membuat segala yang besar
menjadi kecil. Melecehkan segala bentuk tawaran duniawi, memandang enteng segla gangguan
dan siksaan dan mampu mengatasi setiap penghinaan dan pelecehan. Itulah bekal yang harus
dipersiapkan oleh para penyeru kepada Allah. Karena bekal itulah yang dipersiapkan Allah
kepada Nabi-Nya, Muhammad saw, untuk mengemban tugas-tugas dakwah Islamiyah.
Dorongan-dorongan spiritual di dalam hati, seperti rasa takut , cinta dan harap, akan
mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh pemahaman rasional semata. Tepat
sekali asy-Syatibi ketika membedakan dorongan-dorongan ini antara kebanyakan kaum
Muslimin yang masuk ke dalam ikatan pembebanan (taklif) dengan dorongan umumnya
keislaman mereka. Dan orang-orang tertentu yang masuk ke dalam ikatan pembebanan dengan
dorongan lebih kuat dari sekedar pemahaman rasional. Berkata Asy-Syatibi :
„Kelompok pertama keadaannya seperti orang yang beramal karena ikatan Islam dan iman
mereka semata. Kelompk kedua keadaannya seperti orang yang beramal karena dorongan rasa
takut dan harap atau cinta. Orang ang takut akan tetap bekerja kendatipun terasa berat. Bahkan
rasa takut terhadap sesuatu yang lebih berat akan menimbulkan kesabaran terhadap sesuatu
yang lebih ringan, kendatipun tergolong berat. Orang yang memiliki harapan akan tetap bekerja
kendatipun terasa sulit. Harapan kepada kesenangan akan menimbulkan kesabaran dalam
menghadapi kesulitan. Orang ynag mencintai akan bekerja mengerahkan segala upaya karena
rindu kepada kekasih, sehingga rasa cinta ini mempermudah segala kesulitan dan mendekatkan
segala yang jauh.“
Mencari aneka sarana untuk mewujudkan dorongan-dorongan spiritual di hati ini
merupakan suatu keharusan. Jumhur Ulama menyebutkan dengan tasawuf, atau sebagian yang
lain seperti Imam Ibnu Taimiyah menyebutnya ilmu Suluh.
Khalwah yang dibiasakan Nabi saw menjelang bi’tsah ini merupakan salah satu sarana
untuk mewujudkan dorongan-dorongan tersebut.
Tetapi maksud khalwah di sini tidak boleh dipahami sebagaimana pemahaman sebagian
orang ynag keliru dan menyimpang. Mereka memahaminya sebgai tindakan meninggalkan sama
sekali pergaulan dengan manusia dengan hidup dan tinggal di gua-gua.
Tindakan ini bertentangan dengan petunuk Nabi saw dan praktek para sahabatnya.
Maksud khalwah di sini ialah sebagai obat untuk memperbaiki keadaan. Karena sebagai obat,
maka tidak boleh dilakukan kecuali dengan kadar tertentu dan sesuai dengan keperluan. Jika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar